motor tong setan
motor tong setan – Ini adalah kisah tentang sebelah kecil dari Jakarta yang tidak bisa sobat temui setiap hari. Kisah ini hanya terjadi sekejap sehingga setiap orang yang membicarakan Jakarta akan tetap membicarakan gedung-gedung tinggi, banjir tahunan, pengendara biadab, atau kisah heroik para pembela agama.
Di dunia yang sudah kehilangan daya tarik pada keajaiban kecil dan hal-hal menyenangkan , kisah ini tentunya tidak ubahnya bensin di ruang terbuka. Karena itulah kisah ini sobat tuturkan dengan harapan suatu hari, jika sobat membicarakan Jakarta, sobat juga membicarakan kebijaksanaan Dadung sang Pengayom, kegilaan Anam si Joker, dan kegigihan Rois si Pemula. Ketiganya semestinya mendapatkan tempat.
Setiap dua minggu sebelum pergantian tahun, Jakarta selalu kedatangan serombongan pengembara. Pengembara itu datang dengan truk-truk berbobot mainan dan orang-orang yang ahli di sebelah masing-masing. Klasifikasi pengembara itu bernama Dhyan Karya.
Mereka datang dari Demak ke Jakarta untuk mendirikan kemah-kemah dan menyajikan pelbagai hiburan malam yang membikin siapa pun terkagum-kagum: ayunan mempunyai wujud perahu raksasa, bianglala yang bisa dinaiki bersama orang terkasih untuk melihat kota dari ketinggian, sampai sebuah komidi yang sanggup membuat sobat sekejap meyakini keberadaan makhluk halus: Tong Setan.
Pada komidi inilah Dadung, Anam, dan Rois menjadi bintang sekaligus binatang.
Dadung sang Pengayom memulainya sepuluh tahun lalu. Ia menyalakan motor, menekan kopling dan mengendalikan persneling, mengumpulkan segenggam nyali yang kemudian ia kirim ke tangan kanannya untuk berbalik arah gas. Ia memulainya dengan melintasi permukaan landai dengan kemiringan sekitar empat puluh lima derajat, sebelum kemudian menarik gas lebih dalam untuk menaiki permukaan yang nyaris sembilan puluh derajat. Dan terjatuh.
“Itu pertama kali saya jatuh,” kata Dadung, “Saat ini saya sudah lupa rasanya.”
Anam tidak pernah ingin menjadi pahlawan nasional, kalau saja ia mau ia boleh jadi sudah masuk dinas ketentaraan dan bukannya mendatangkan kan rambut sampai sepunggung dan menantang dirinya sendiri untuk melintasi permukaan yang kurang biasa dengan motornya sambil melepas tangan, kadang memiringkan lokasi duduk dan menyilangkan kaki, kadang melambai-lambaikan sebelah kakinya ke penonton.
Anam adalah manifestasi dari kegilaan yang ditambahkan keberanian. Di dalam tong raksasa itu, Anam bukanlah Anam yang sobat tegur di luar saat tengah bersantai bersama anak dan istrinya. Di dalam tong raksasa itu, ia adalah penghibur yang paripurna: menghibur orang lain, dan dirinya sendiri.
Bhaga, fotografer Tirto, malam itu melihat Anam berjalan terpincang-pincang dan menanyai informasinya. Anam menjelaskan sendi antara paha dan betisnya tumbuh bisul.
“Wah, tidak bisa atraksi, {{dong}}?”
“Tidak bisa buang air besar air besar,” serunya. “Jengkel gua tidak bisa jongkok.”
Di tengah pertunjukan, saat Dadung sang Pengayom dan Anam si Joker berputar dan berputar dan berputar seperti kesetanan, sebuah kejutan muncul. Rois menyelip di antara dua motor dengan sepedanya. Iya, sepeda. Belakangan, disiapkan sebuah sepeda bagi mereka yang ingin belajar Tong Setan.
Rois mengontrol bahu Dadung dan melaju cepat. Semakin cepat. Pada satu waktu yang sudah ia perkirakan, ia melepas kedua tangan dari kemudi sepeda dengan kaki terus mengayuh. Membuat sobat, penonton yang budiman, bertepuk tangan dan memberi mereka lebih banyak uang.
Saat ketiganya sudah berputar di dalam tong, tersenyum pada sobat, dan siap menarik uang yang sobat ulurkan, sobat segera tahu bahwa Jakarta, dan dunia, belum kehilangan keajaiban. Besok hari mereka akan pergi, namun tahun depan mereka akan kembali lagi.